a. Takut Ujian – Tertaphobia
Mereka sangat takut dengan kondisi ini, waktu mereka akan dihabiskan terus untuk belajar untuk mengembangkan otak kiri mereka, sedangkan otak kanan mereka tidak terlatih. Akibatnya mereka akan menjadi manusia yang monoton, tidak kreatif dan tidak cerdas, dan pada saat ujian mereka bingung apa yang harus dikerjakan.
b. Takut Kuman – Spermatophobia
Adapun orang yang takut karena kuman dikarenakan orang tersebut tidak ingin sekali atau dekat dengan kotor sampai – sampai orang tersebut harus pakai pelindung tubuh.
c. Takut Matahari – Heliophobia
Seseorang bias saja takut dengan matahari karena pada awalnya mungkin orang tersebut terbiasa dengan malam hari sekalipun dia melihat matahari dia takut.
Senin, 18 April 2011
6. Contoh kasus tidak konsistennya penegakan hokum di Indonesia
Skenario Penangkapan Penerima Suap
Romli Atmasasmita (25/06/2008)
Ketika pejabat tinggi Kejaksaan Agung berinisial UTG tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap, tampak seolah itu kasus suap biasa antara yang bersangkutan dan si pemberi suap berinisial ART, tanpa ada dugaan keterlibatan pihak lain. Ketika itu, semua orang menduga ada keterkaitan suap itu dengan dihentikannya penyelidikan kasus BLBI beberapa hari sebelumnya, karena posisi UTG selaku Ketua Tim II BLBI (BDNI), dan nilai uang suap (US$ 600 ribu) yang sangat besar untuk seorang UTG. Bahkan Jaksa Agung sendiri terkejut mendengar nilai uang yang diterima bawahannya.
Penyelidikan KPK membuahkan hasil baru dan fakta baru di mana UTG telah melakukan perbuatan yang sama ketika berhadapan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sesuai dengan keterangan GY (mantan Kepala BPPN) di hadapan pemeriksa KPK sebagaimana dirilis dalam berbagai media. Kesimpulan sementara, UTG telah terbiasa menerima pemberian atau suap dari pihak terperiksa. Dalam kriminologi, perbuatan ini termasuk habitual criminal yang lazimnya dilakukan secara individual saja.
Namun, di muka persidangan, ketika terhadap terdakwa ART (pemberi suap) diperdengarkan rekaman pembicaraan petinggi Kejaksaan Agung dengan ART sebelum dan sesudah ada pengumuman Kejaksaan Agung mengenai tidak dilanjutkannya penyelidikan kasus BDNI, timbul kecurigaan bahwa perbuatan UTG tidak dilakukan sendirian, dan peristiwa penangkapan ini berkaitan dengan pengumuman tidak dilanjutkannya penyelidikan kasus BDNI.
Apalagi isi rekaman pembicaraan antara ART dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (KYR) begitu gamblang menggambarkan bahwa hubungan pertemanan di antara kedua pembicara begitu akrab, sehingga seolah-olah ART ditempatkan sebagai atasan KYR. Mengutip kalimat yang diucapkan, antara lain "sudah selesai tugas saya", jelas bahwa sebelum pengumuman Kejaksaan Agung tersebut, telah ada permintaan dari ART kepada KYR untuk "menyelesaikan" penyelidikan kasus BDNI, karena bukan rahasia lagi siapa dan apa posisi ART dalam grup bisnis SYN.
Tampaknya ART tak hanya berteman dengan KYR, tapi juga dengan UUS (Jamdatun), sehingga terjadi pembicaraan antarteman yang intinya meminta pertolongan Jamdatun bagaimana menghadapi masalah tertangkapnya UTG, karena ART mengakui memberikan sesuatu. Advis yang diberikan Jamdatun kepadanya adalah akan diusahakan menghubungi Jamintel dan menyusun skenario bahwa ART akan ditangkap oleh Kejaksaan Agung.
Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh mantan Direktur Penyidikan (MS) dan semua persiapan penangkapan tersebut diketahui oleh Jaksa Agung, berdasarkan pengakuan MS kepada KYR selaku atasannya. Dalam peristiwa suap UTG oleh ART juga tidak dapat diabaikan fakta sebelum terjadinya peristiwa ini, yaitu ketika Kejaksaan Agung menyampaikan surat panggilan kepada SYN untuk menghadapi pemeriksaan atas saran petinggi di Kejaksaan Agung, telah dikeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa terperiksa sedang sakit, dan surat tersebut ditandatangani kuasa hukum ART, yaitu MI dan E, dengan menggunakan kop surat kantor hukum AB; dan surat tersebut tanpa dilampiri surat dokter. Surat keterangan dari penasihat hukum itu pun diterima oleh Kejaksaan Agung tanpa mempersoalkan surat dokternya.
Berdasarkan fakta tersebut di atas, semakin terang benderang bagi masyarakat luas bahwa dalam penanganan kasus BDNI (SYN), telah terjadi apa yang disebut sebagai miscarriage of justice oleh penegak hukum, sehingga telah terjadi apa yang disebut dalam kriminologi sebagai governmental crime.
Hal ini semakin diperkuat dengan langkah dan niat Kejaksaan Agung untuk segera menangkap ART setelah UTG ditangkap KPK, sekalipun Ketua KPK telah mengatakan kepada petugas Kejaksaan Agung untuk tidak ikut campur dalam kasus ini. Sesungguhnya pendapat Ketua KPK dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi: "Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan." Penegasan bahwa KPK memiliki peranan dominan dalam penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 50 ayat (4) yang berbunyi: "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan."
Sanksi ancaman pidana terhadap langkah Kejaksaan Agung yang telah mengeluarkan surat perintah penangkapan ART terdapat pada ketentuan pidana Pasal 21 UU Nomor 31 tahun 1999 yang berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ...dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun...." Kegagalan melaksanakan perintah penangkapan tersebut dapat digolongkan sebagai percobaan melakukan tindak pidana, dan percobaan melakukan tindak pidana tetap dapat dihukum sesuai dengan ketentuan tersebut.
ROMLI ATMASASMITA
Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia
sumber : http://www-errol273ganteng.blogspot.com/2008/06/skenario-penangkapan-penerima-suap.html
Romli Atmasasmita (25/06/2008)
Ketika pejabat tinggi Kejaksaan Agung berinisial UTG tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap, tampak seolah itu kasus suap biasa antara yang bersangkutan dan si pemberi suap berinisial ART, tanpa ada dugaan keterlibatan pihak lain. Ketika itu, semua orang menduga ada keterkaitan suap itu dengan dihentikannya penyelidikan kasus BLBI beberapa hari sebelumnya, karena posisi UTG selaku Ketua Tim II BLBI (BDNI), dan nilai uang suap (US$ 600 ribu) yang sangat besar untuk seorang UTG. Bahkan Jaksa Agung sendiri terkejut mendengar nilai uang yang diterima bawahannya.
Penyelidikan KPK membuahkan hasil baru dan fakta baru di mana UTG telah melakukan perbuatan yang sama ketika berhadapan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sesuai dengan keterangan GY (mantan Kepala BPPN) di hadapan pemeriksa KPK sebagaimana dirilis dalam berbagai media. Kesimpulan sementara, UTG telah terbiasa menerima pemberian atau suap dari pihak terperiksa. Dalam kriminologi, perbuatan ini termasuk habitual criminal yang lazimnya dilakukan secara individual saja.
Namun, di muka persidangan, ketika terhadap terdakwa ART (pemberi suap) diperdengarkan rekaman pembicaraan petinggi Kejaksaan Agung dengan ART sebelum dan sesudah ada pengumuman Kejaksaan Agung mengenai tidak dilanjutkannya penyelidikan kasus BDNI, timbul kecurigaan bahwa perbuatan UTG tidak dilakukan sendirian, dan peristiwa penangkapan ini berkaitan dengan pengumuman tidak dilanjutkannya penyelidikan kasus BDNI.
Apalagi isi rekaman pembicaraan antara ART dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (KYR) begitu gamblang menggambarkan bahwa hubungan pertemanan di antara kedua pembicara begitu akrab, sehingga seolah-olah ART ditempatkan sebagai atasan KYR. Mengutip kalimat yang diucapkan, antara lain "sudah selesai tugas saya", jelas bahwa sebelum pengumuman Kejaksaan Agung tersebut, telah ada permintaan dari ART kepada KYR untuk "menyelesaikan" penyelidikan kasus BDNI, karena bukan rahasia lagi siapa dan apa posisi ART dalam grup bisnis SYN.
Tampaknya ART tak hanya berteman dengan KYR, tapi juga dengan UUS (Jamdatun), sehingga terjadi pembicaraan antarteman yang intinya meminta pertolongan Jamdatun bagaimana menghadapi masalah tertangkapnya UTG, karena ART mengakui memberikan sesuatu. Advis yang diberikan Jamdatun kepadanya adalah akan diusahakan menghubungi Jamintel dan menyusun skenario bahwa ART akan ditangkap oleh Kejaksaan Agung.
Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh mantan Direktur Penyidikan (MS) dan semua persiapan penangkapan tersebut diketahui oleh Jaksa Agung, berdasarkan pengakuan MS kepada KYR selaku atasannya. Dalam peristiwa suap UTG oleh ART juga tidak dapat diabaikan fakta sebelum terjadinya peristiwa ini, yaitu ketika Kejaksaan Agung menyampaikan surat panggilan kepada SYN untuk menghadapi pemeriksaan atas saran petinggi di Kejaksaan Agung, telah dikeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa terperiksa sedang sakit, dan surat tersebut ditandatangani kuasa hukum ART, yaitu MI dan E, dengan menggunakan kop surat kantor hukum AB; dan surat tersebut tanpa dilampiri surat dokter. Surat keterangan dari penasihat hukum itu pun diterima oleh Kejaksaan Agung tanpa mempersoalkan surat dokternya.
Berdasarkan fakta tersebut di atas, semakin terang benderang bagi masyarakat luas bahwa dalam penanganan kasus BDNI (SYN), telah terjadi apa yang disebut sebagai miscarriage of justice oleh penegak hukum, sehingga telah terjadi apa yang disebut dalam kriminologi sebagai governmental crime.
Hal ini semakin diperkuat dengan langkah dan niat Kejaksaan Agung untuk segera menangkap ART setelah UTG ditangkap KPK, sekalipun Ketua KPK telah mengatakan kepada petugas Kejaksaan Agung untuk tidak ikut campur dalam kasus ini. Sesungguhnya pendapat Ketua KPK dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi: "Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan." Penegasan bahwa KPK memiliki peranan dominan dalam penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 50 ayat (4) yang berbunyi: "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan."
Sanksi ancaman pidana terhadap langkah Kejaksaan Agung yang telah mengeluarkan surat perintah penangkapan ART terdapat pada ketentuan pidana Pasal 21 UU Nomor 31 tahun 1999 yang berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ...dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun...." Kegagalan melaksanakan perintah penangkapan tersebut dapat digolongkan sebagai percobaan melakukan tindak pidana, dan percobaan melakukan tindak pidana tetap dapat dihukum sesuai dengan ketentuan tersebut.
ROMLI ATMASASMITA
Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia
sumber : http://www-errol273ganteng.blogspot.com/2008/06/skenario-penangkapan-penerima-suap.html
Langganan:
Postingan (Atom)